YUHU... AKU MAU BAGI-BAGI CERITA YANG MUNGKIN AGAK GEJE DAN YAH.. BOLEH DIBILANG PEMULA BANGET. INI GARA-GARA SUNTUK BELAJAR, JADINYA ISENG-ISENG NULIS DEH. YANG UDAH BACA DAN SUKA CERITANYA JANGAN LUPA COMENT YA... BERI MASUKAN + KRITIK TAPI HARUS ADA SARAN. TAPI YANG SOPAN YA... AUTHOR SOALNYA PERASA BANGET.. ^^
MAAP KALO ADA TYPONYA.. UDAH AH, BANYAK OMONG NIH AUTHOR. OKKE DEH. SELAMAT MEMBACA.. :*
I not Believe You, but I Believe You
Sayup-sayup
terdengar kicauan burung di telingaku. Aku hanya bisa tersenyum dan mengagumi
setiap keindahan nada yang tercipta dari paruh kecil itu. Kuhirup dalam-dalam
setiap molekul aroma wewangian yang dihasilkan bunga di sekelilingku. Tanpa
kusadari aku terlelap, terlelap dalam suasana nan tenang dan sejuk ini. Terik
matahari yang hangat membuat dinginnya udara pada musim hujan selama satu
dekade ini terbayar sudah.
Dalam
lelapku terlihat seorang gadis yang tengah berdiri mengenakan gaun berwarna
merah maroon gelap nan indah di dalam kamar, tepatnya di sebuah cermin besar
bergaya eropa kuno. Gaun itu menjuntai ke bawah menutupi sepatu permata yang
dikenakannya. Kalung bermata rubi merah itu tak luput menghiasi leher indah nan
putih itu. Rambut hitam terurai indah menambah pancaran kecantikan gadis yang
tak dapat kulihat wajahnya itu.
Cermin
yang ada di hadapannya nampak buram dan kotor, hingga wajah gadis itu tak
tampak jelas memantul di cermin. Hingga seseorang wanita paruh baya datang dan
memanggil gadis cantik itu.”Verisa”, hanya itu yang keluar dari bibir
wanita paruh baya tersebut. Dengan
seksama kuperhatikan setiap langkah kedua wanita itu.
Tak
ada yang kumengerti situasi apa ini. Siapa gadis itu, kenapa aku kini begitu
penasaran dengan gadis yang bahkan tak pernah kulihat wajahnya. Tapi satu hal
yang pasti yang dapat kumengerti. Ketika dia membalikkan badannya mencari
sumber suara yang memanggil namanya ada sebuah tongkat di tangannya. Tongkat
itu diayunkannya ke samping kanan dan kiri, untuk memastikan jalan yang
ditujunya aman. Dan kini wajahnya telah nampak di penglihatanku. Gadis itu
adalah aku.
Dengan
sekejap, aku terbangun dari mimpi itu. Mimpi yang selama ini menghantuiku.
Mimpi yang membuatku menyalahkan semua takdir yang menimpaku dan yang selalu
mengingatkanku betapa tidak adilnya hidupku. Semua harapanku masuk ke dalam
kegelapan yang membuat kedua mataku tak dapat melihat indahnya cahaya mentari.
Aku
adalah gadis berumur 17 tahun yang kini hanya bisa terkurung di rumah yang
suram ini. Tak ada lagi canda tawa yang terdengar di telingaku. Tak ada lagi
suara teman-temannku yang mengisi hari kosongku. Kini aku sendiri, hanya
tongkat yang kupegang selama ini yang setia menemaniku. Tak ada lagi, tak ada
lagi orang yang dulu memujaku kini berada setia disampingku.
Semenjak
kecelakaan yang terjadi 1 tahun yang lalu, semua kebahagiaan yang dulu pernah
kualami kini sirna begitu saja. Teman-teman yang dulunya begitu perhatian
denganku, satu persatu pergi meninggalkanku. Mereka yang selalu mengelu-elukan
betapa cantiknya aku, betapa pintarnya aku, dan betapa beruntungnya aku hidup
sebagai anak pengusaha kini tak pernah lagi terdengar di telingaku.
Tak
hanya telah merenggut kedua mataku, tapi kecelakaan itu juga telah merenggut
nyawa kedua orang tuaku. Orang tua yang selama ini menjadi sandaranku, orang
tua yang selalu menjadi tempatku mengadu semua keluh kesahku. Semenjak kedua
orang tuaku meninggal, perusahaan yang dibangun dengan darah dan keringat
keluargaku kini harus menjadi perusahaan tua yang hampir bangkrut. Hutang yang
dulu menurutku adalah sebuah dongeng belaka, yang tak mungkin ada dalam hidupku
kini menyelimuti hari-hariku. Hanya rumah ini dan bibi Rusimah lah yang selalu ada
di sampingku.
Bibi
Rusimah, wanita paruh baya yang mengabdikan diri kepada keluargaku semenjak
ayahku masih berumur 2 tahun itu sangat setia kepada keluargaku. Dia bagaikan
keluarga bagiku dan orang yang paling kusayangi setelah kedua orang tuaku,
terlebih setelah kepergian kedua orang tuaku. Dia yang menjagaku sejak aku
kecil, ketika kedua orang tuaku sedang sibuk. Dia juga yang kini menjadi mata
keduaku sejak kecelakaan itu. Dia pula yang setiap hari memberiku motivasi
untuk menjadi Verisa yang dulu. Verisa yang ceria, pantang menyerah, dan selalu
bersemangat.
Dulu,
aku adalah salah satu murid terpintar di sekolahku. Tak hanya menjadi murid
yang terpintar, aku juga dapat dibilang menjadi primadona di sekolah
terakreditasi A tersebut. Hampir semua penghargaan kejuaraan akademik dan non akademik
aku sandang. Kemampuanku dalam bermain biolaku pun membuatku pernah menghadiri
sebuah tetater musikal yang diadakan di Australia, bahkan aku hampir sering
mengisi beberapa acara resmi di galeri-galeri terkenal. Ditambah aku aktif
dalam organisasi OSIS di sekolahku. Teman-temanku begitu mengagumiku dan
menyayangiku. Itulah yang dulu berada di otakku
Begitu
indahnya hidupku, sampai-sampai aku tak percaya pernah memiliki kehidupan yang
begitu sempurna bak negeri dongeng yang diimpikan oleh semua orang. Tapi negeri
dongengku tak bertahan lama. Saat aku dan kedua orang tuaku hendak berlibur ke
salah satu villa kami, kecelakaan itu terjadi. Kecelakan yang terjadi pukul 3
dini hari itu terjadi saat aku dan keluargaku menaiki mobil merah kesayangan
papaku. Kecelakaan itu terjadi tepatnya tikungan curam di puncak Tak menyangka perasaan tidak enak yang telah
menghantuiku selama 2 hari sebelum kecelakan, merupakan pertanda bahwa sesuatu
yang buruk akan terjadi.
Mobil
yang kami kendarai terguling ke dalam jurang tepat berada di tikungan yang
sebelumnya kami lewati. Beruntung aku masih dapat diselamatkan. Aku terpental
dari mobil dan tersangkut pada pohon yang tumbuh di samping jurang, begitu
beruntungnya aku. Tetapi nasib yang baik tidak berpihak pada kedua orang tuaku.
Mereka jatuh bersama mobil yang mereka kendarai karena mereka tertahan safety
belt yang mereka kenakan.
Beberapa
hari kemudian setelah tubuhku sedikit membaik, bibi memberitahuku bahwa
kecelakaan yang kami alami diakibatkan rem mobil yang kami kendarai blong.
Mobil kami pun menyenggol pembatas jalan yang menyebabkan mobil kami hilang
keseimbangan karena badan jalan yang sempit. Setelah dilakukan penyelidikan rem
kami ternyata tidak blong karena terputusnya saluran rem, tetapi piston rem
mobil yang sudah aus. Hal ini sangat tidak mungkin mengingat umur mobil ini
baru 3 bulan.
Sudah
satu tahun lamanya kejadian itu berlalu, kejadian yang diyakini semua orang
murni kecelakaan tanpa adanya unsur pembunuhan di dalamnya. Berdasarkan
keterangan yang kudengar dari salah satu polisi polisi yang berbincang dengan
bibi Rusimah saat aku telah pulang ke rumah, polisi merasakan adanya
kejanggalan dalam peristiwa tersebut. Tetapi setelah satu bulan dilakukan
penyelidikan lebih lanjut, mereka tiba-tiba menyatakan bahwa peristiwa itu
murni kecelakaan dengan penyebab rem yang terputus. Aku merasa ada ketidak
adilan dalam proses penyelidikan polisi tersebut. Tapi aku hanya dapat berdiam
diri menerima keputusan polisi, terlebih dengan keadaanku yang masih lemah
pasca operasi ditambah keuangan perusahaan yang semakin menurun menyebabkan tak
dapat kusewa pengacara untuk menyelidiki kasus ini.
Setelah
seharian melepaskan kepenatanku dengan berjalan-jalan ke taman, aku kembali ke
rumah untuk mempersiapkan seminar yang akan kulakukan malam ini. Aku akan
menghadiri seminar yang diadakan United Nations
Decade of Disabled Persons
sebagai salah satu nara sumber utama. Sudah tiga bulan ini aku menjadi
pembicara dalam berbagai seminar untuk para penyandang disabilitas. Sebagai
salah satu penyandang disabilitas aku akan memberikan motifasi kepada mereka
untuk terus menjalani hidup dan pantang menyerah meskipun itu sangat sulit
dilakukan. Aku juga telah menerbitkan berbagai buku yang berisikan
motivasi-motivasi hidup dalam berbagai bahasa yang penjualannya kini dapat
mebayar sebagian hutang papaku dan sebagian lagi dapat kusumbangkan.
Dalam
keterbatasanku saat ini, aku bertekad untuk menyelamatkan perusahaan kedua
orang tuaku yang sekarang sudah dapat memulai produksinya kembali. Dengan
tekatku itu, aku mampu menjadi satu-satunya penyandang dissabilitas yang
dipercaya menangani sebuah perusahaan yang mulai berkembang dalam skala
Internasional. Bahkan aku mampu meyakinkan para pemegang saham untuk
mempercayakan perusahaan secara langsung kepadaku. Dengan bantuan dari salah
satu orang kepercayaan ayahku, aku dapat menjalankan perusahaan dengan mudah.
Dia adalah Deni.
Deni
adalah anak dari pengacara keluargaku yang dapat dikatakan mendedikasikan
separuh hidupnya untuk keluargaku. Meskipun usiaku dan Deni terpaut 1 tahun,
aku merasa bahwa dia adalah kakakku yang selalu menjagaku seperti adiknya
sendiri. Kami tumbuh bersama dalam lingkungan yang sama, lingkungan yang
mengharuskan kami meneruskan apapun yang diwariskan kedua orang tua kami. Pak
Hermawan selaku ayah Deni, menyerahkan tanggung jawab kepadanya untuk menjagaku
sekaligus membantuku menjalankan perusahaan semenjak 1 tahun lalu.
Dengan
bantuannya kini perusahaan kami mampu memproduksi produk kecantikan dan fashion
yang laku dipasaran. Selain itu kami mengembangkan produk kami agar dapat digunakan
untuk para penyandang disabilitas. Itu terjadi karena keprihatinanku kepada
para penyandang disabilitas yang mungkin merasa kurang percaya diri dengan
keterbatasannya, seperti aku. Tapi aku berharap dengan adanya produk ini,
mereka dapat lebih percaya diri. Seperti kaki palsu yang sedang kami kembangkan.
Kaki palsu ini menggunakan silikon yang hampir menyerupai kulit dilengkapi
dengan engsel yang komplek sebagai sendi. Kaki palsu ini akan terus kami
kembangkan hingga dapat mendekati aslinya.
Jam
Gadang yang berbunyi setiap 3 jam sekali
yang tengah berdiri di ruang tengah kini berbunyi dengan nyaringnya.
Tembok yang menjulang tinggi dengan lukisan bergaya eropa kuno memantulkan
setiap dentingan jam tersebut. Menandakan bahwa satu setengah jam lagi, aku
harus menghadiri acara seminar tersebut. Aku bergegas untuk segera mandi dan
dengan bantuan dari bibi Rusimah kupilih gaun yang cocok untuk menghadiri acara
tersebut.
Satu
jam berlalu, kini aku telah siap menghadiri seminar itu. Kaki yang berbalut
sepatu high hels setinggi 10 centi ini kulangkahkan menuju mobil yang telah
lama menungguku untuk segera pergi ke acara tersebut. Aku yang telah mengenal
rumah ini dengan baik, tidak memerlukan waktu lama untuk menuju mobil yang
terparkir tepat di teras depan rumahku. Sekarang, aku telah masuk ke dalam mobil
dan tengah berbincang mengenai materi seminarku kepada Deni. Meskipun aku
sedikit takut untuk naik mobil sejak kecelakaan itu, tetapi dengan adanya Deni
disampingku perasaan takutku kini sedikit berkurang. Meskipun jantungku sedikit
berdebar dan kepalaku juga sedikit pusing saat memasuki mobil, tapi aku tidak
akan pingsan selama Deni berada di sampingku.
“Aku
bantu pakaikan sabuk pengaman. Jangan gugup.... aku ada di sampingmu” Deni
membantuku memasangkan safety belt yang kini telah menyilang dengan baik di
tubuhku.
“Terima
kasih.....” hanya senyuman dan kata-kata ini yang dapat kuucapkan kepada orang
yang senantiasa menjagaku.
Sebelum
kecelakaan itu terjadi, papa berencana menjodohkanku dengan rekan bisnisnya.
Pada saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMA. Aku merasa bahwa diumurku yang
sangat muda itu, sangat tidak mungkin untuk menyetujui perjodohan itu. Tetapi
akibat desakan papa yang entah sampai saat ini tak kuketahui alasannya pada akhirnya
aku menyetujui perjodohan itu. Aku berusaha keras menghindari calon tunanganku
itu. Kerap Deni membawaku pergi ketika
aku tanpa sengaja bertemu dengan Erik, orang yang akan dijodohkan padaku. Deni
mengetahui ketidak nyamananku menerima perjodohan ini. Dia sering membawaku
kabur setiap Erik hendak mendekatiku. Meskipun Pak Hermawan sering melarang
anaknya mengganggu hubunganku dengan Erik, Deni tak pernah menggubris perkataan
ayahnya.
Setelah
seminar yang berlangsung kurang lebih 2 jam itu berakhir, aku berpamitan kepada
Deni untuk pergi ke kamar mandi sebelum kami pulang meninggalkan gedung seminar
ini. Tak selang beberapa lama saat aku telah selesai dari toilet, seorang
penjaga hotel memanggilku
“Maaf
nona, saya tadi diperintahkan oleh seseorang pemuda untuk memberitahukan kepada
nona bahwa dia tidak dapat pulang bersama nona dan telah memesankan taksi untuk
anda.”
“Apakah
ada surat atau semacamnya yang dititipkannya padaku?”
“Saya
rasa tidak. O... iya, mari saya bantu. Taksi anda sudah datang.” Penjaga hotel
itu sekarang menuntunku menuju taksi yang kini telah pergi meninggalkan gedung
seminar tersebut.
Tak
ada telepon yang masuk dalam hpku. Meskipun Deni tau aku cukup kesulitan
menggunakan handphone ini, tapi dia juga tau benar bahwa hanya untuk mengangkat
telepon saja aku mampu melakukannya. Untuk itu, tak pernah sekalipun dia tidak
mengabariku apabila ada sesuatu yang terjadi. Tapi tidak untuk kali ini, dia
meninggalkanku sendiri di tempat yang belum kukenal betul. Dia bahkan tidak
mengabariku sebenarnya apa yang terjadi, hingga ia meninggalkanku begitu saja.
Semalaman
aku menunggu kabar darinya, tapi tak sedikitpun terdengar dentingan lagu pada
handphoneku. Mata yang semakin berat dan telah berada pada penghujung
kemampuannya untuk membuka, kini menutup perlahan dan membawaku kedalam alam
mimpi yang indah. Kicauan burunglah yang membuatku terjaga dari alam mimpiku.
Jam yang bersensor sentuhan itu, menyuarakan pukul 8 yang tertera pada
layarnya. Jam itu merupakan hadiah pemberian Deni sepulangya dari Jepang. Deni
berharap dengan jam itu, aku akan dapat tetap merasakan perjalanan waktu yang
indah di dunia. Meskipun aku tak dapat melihat, tetapi jam yang selalu bersuara
angka-angka itulah yang membuatku bahwa setiap detik kehidupan, sangatlah
berharga.
Roti yang tersedia di atas meja makan ini
telah separuhnya kuhabiskan, tetapi handphoneku tak kunjung memberikan tanda
bahwa ada panggilan yang masuk kedalamnya. Suara mobil yang tak asing lagi
bagiku sekarang tengah berhenti di halaman rumahku. Langkah kaki yang berat itu
mendekat padaku yang sedang sibuk menghabiskan separuh roti ini. Suara langkag
kaki itu pun berhenti, dan sang pemilik suara sekarang duduk di meja makan
bersamaku. Orang yang sekarang berada di sampingku, akhirnya menyuarakan
suaranya.
“Ver...
maaf kemarin aku ninggalin kamu gitu aja. Tapi ada hal penting yang harus aku
urus. Kemarin.....”
Suara
yang berbeda dari biasanya itu tiba-tiba menghentikan kata-katanya. Suara yang
terdengar begitu serak dan seperti menahan sebuah tangisan yang teramat
menyakitkan itu hanya kujawab dengan dengungan yang menandakan untuk
menyuruhnya kembali berbicara.
“Kemarin....
ayah dan adikku mengalami kecelakaan.”
Garpu
dan pisau yang sedari tadi kugunakan untuk mengiris rotiku tiba-tiba terjatuh
ke lantai. Aku begitu syok mendengar apa yang barusan kudengar. Terdengar
sesenggukan dari mulut laki-laki yang sekarang telah kusenderkan kepalanya ke
pundakku untuk menenangkannya.
“Sebelum
dia menghembuskan nafas terakhirnya, dia berpesan padaku untuk menjadwalkan
hari operasi mata tepat pada hari pemakamannya. Dia telah mendapatkan donor
untukmu.” Tambahnya di dalam isak tangisnya.
Tak
ada satu kata yang terucap, bibir ini terasa kaku. Hanya tetesan air mata yang
sekarang berhasil lolos dari tempatnya. Perasaanku kini bercampur aduk antara
rasa bahagia dan sedih. Aku bahagia karena, hal yang selama ini kuimpikan dan
kunanti akhirnya terwujud. Tetapi di balik kebahagiannku, aku juga teramat
terpukul karena untuk kedua kalinya aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi.
“Terima
kasih....... terimah kasih om Hermawan. Dan terima kasih juga untukmu....
Deni....” Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutku saat ini. Berita yang
begitu mengejutkanku membuat pikiranku sekarang menjadi kalut.
Sesaat
setelah obrolan kami, hanya keheningan yang tercipta. Di dalam hatiku, aku
berjanji akan membayar semua hutang budiku pada keluarga om Hermawan. Aku juga
berjanji kepada mendiang orang tuaku, pengorbanan yang telah dilakukan om Hermawan
hingga aku dapat dioperasi secepat ini tidak akan aku sia-siakan. Aku akan
mencari penyebab kedua orang tuaku mengalami kecelakaan dan juga akan kukembalikan
nama perusahaanku sekarang hingga kembali ke masa jayanya.
Hari
yang begitu suram kemarin, sekarang telah tergantikan dengan hari yang sudah
lama kunanti. Hari ini adalah hari dimana operasi mataku telah dijadwalkan.
Karena itu pagi ini tidak ada sedikit pun nasi yang masuk ke dalam perutku. Hal
ini telah berlangsung sejak kemarin saat dr. Arditya menjadwalkan operasi mata
untukku dan menyuruhku untuk berpuasa. Operasi mataku ini akan berlangsung
kurang lebih 2 jam dan itu benar-benar membuatku takut. Aku berharap Deni
datang saat aku akan masuk ke dalam ruang operasi. Tetapi karena dia harus
mewakiliku dalam rapat penting perusahaan, aku tak dapat melihatnya.
“Bi,
apakah bibi telah menyiapkan semuanya?” ucapku, sebelum aku masuk ke dalam
ruang operasi.
“Sudah
non, saya sudah menghubungi pengacara keluarga dan menyampaikan pesan dari non
Verisa. Tapi seharunya non tidak melakukan ini semua. Bibi yakin, tidak akan
ada hal buruk yang terjadi, dan non akan tetap berada di sisi kami.”
“Iya
bi... aku sepenuhnya yakin kalau dr. Aditya mampu melakukan tugasnya dengan
baik. Tetapi aku tak akan mengambil resiko apabila sesuatu terjadi padaku.”
Bibi
yang kurang setuju akan keputusanku ini, hanya dapat pasrah dan mengantarku ke
depan pintu ruang operasi. Deni yang sedari tadi kutunggu kehadirannya pada
akhirnya datang untuk mengantarku. Tetapi sebelum aku dapat berbicara
dengannya, suster sudah mendorongku untuk masuk ruang operasi.
Sudah
seminggu aku beristirahat di ruang 101 cempaka putih pasca operasi yang
kulakukan kemarin. Dan hari ini, perban yang masih melingkar di mataku akan
dibuka. Aku ingin, orang pertama yang dapat kulihat sekarang adalah Deni. Tak
butuh waktu lama, dokter dan suster yang tadi memeriksa rekapan medisku
sekarang mencoba membuka perbanku. Kemudian, dokter menyuruhku untuk membuka
perlahan kedua mataku. Memang terasa sedikit aneh, cahaya yang tiba-tiba sangat
silau sedikit demi sedikit membentuk bayangan seseorang. Meskipun itu tampak
buram tapi aku tau, bahwa orang yang sekarang tengah berdiri di hadapanku
adalah Deni. Terlihat sunggingan senyum di bibirnya, aku pun membalasnya dengan
senyuman dan ucapan terima kasih.
Selama
beberapa bulan ini, aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Deni di setiap
keadaanku. Tak ada kata cinta yang kami ungkapkan satu sama lain. Tapi kami
paham dengan perasaan kami sekarang ini. Entah siapa yang memulai, tapi kami
sekarang telah menjadi sepasang kekasih. Hari-hariku bertambah indah sejak
kehadirannya. Bahkan tak sampai disitu hari-hari indahku. Perusahaan papaku
yang kupegang sekarang menjadi salah satu perusahaan yang diperhitungkan di
pasar luar negeri.
Tetapi
kebahagiaanku tiba-tiba menguap begitu saja bagaikan uap air pada teko kecil
yang memanas. Perjodohanku dengan Erik yang telah ditetapkan papa kini
menghantui hari-hariku dengan Deni. Aku tidak ingin bahkan tidak sekalipun
terbersit di pikiranku untuk menikah dengan orang yang tak pernah kucintai.
Setelah
berpikir begitu keras, dengan berbagai pertimbangan pada akhirnya aku bertekad
memberitaku kedua orang tua Erik untuk membatalkan perjodohan itu. Aku
menyiapkan tempat khusus untuk pertemuan kami dengan menyewa salah satu
restoran terbaik di Bogor. Sekarang tubuhku sangat dingin dan aku begitu gugup
menunggu kedua orang tua Erik, meskipun siampingku tengah duduk Deni selaku
calon tunanganku dan pengacaraku.
Tiga
orang yang sedari tadi kutunggu kehadirannya, berjalan ke meja yang telah kupesan.
Tubuhku yang kedinginan karena udara di restoran ini semakin mendingin saat
kedatangan kedua orang tua Erik. Kupersilahkan mereka duduk dan kumulai
pembicaraan kami dengan mempersilahkan mereka untuk memesan. Obrolan-obrolan
kecil menyelimuti meja yang sekarang kupesan. Saat aku akan mengatakan inti
dari pertemuan kami ini, tiba-tiba Erik mengajakku ke luar restoran untuk
membicarakan sesuatu. Aku cukup penasaran dengan apa yang akan dibicarakan
Erik, tetapi kuturuti perintahnya untuk keluar restoran.
“Ver,
aku tau kamu gak pernah cinta sama aku, dan aku juga tau kalau hari ini kamu
akan membatalkan perjodohan kita. Tapi, sebelum kamu membatalkan perjodohan
kita kamu harus tau sesuatu.” Ucap Erik saat kami berada di luar restoran.
Aku
begitu tersentak dengan ucapan Erik barusan. Kenapa dia tau rencanaku perihal
pembatalan perjodohan ini dan ada hal penting apa yang akan diberitahunya.
Pertanyaan-pertanyaan itu sekarang berputar acak di otakku.
Karena
aku tak kunjung merespon, pada akhirnya dia melanjutkan kata-katanya yang
terputus. “Ver, aku benar-benar mencintaimu meskipun aku tau kamu tengah
berpacaran dengan Deni. Dan aku pun tau kalau kalian akan segera bertunangan.
Tapi aku tidak ingin orang yang kucintai bersama dengan anak dari orang yang
telah membunuh keluarganya.”
“A..ap..apa
maksutmu?” jantungku tiba-tiba berhenti berdetak, bibirku juga kelu untuk
mengeluarkan suara. Hanya 2 kata yang dapat kuucapkan untuk menelisik lebih
jauh penyataan Erik
“Iya,
setahun yang lalu aku menyewa pengacara untuk menyelidiki penyebab kecelakaan
kedua orang tuamu. Dan aku mendapatkan suatu kenyataan yang menurutku sangatlah
tidak mungkin. Pak Hermawan lah penyebab rem mobil orang tuamu terputus,
sehingga mereka mengalami kecelakaan itu. Saat aku mengetahuinya, aku hanya
bisa menyimpan rahasia ini karena aku tau kamu pasti akan terpukul dengan
kenyataan ini. terlebih lagi, kamu sangat dekat dengan Deni. Aku tau, kamu
pasti tidak percaya dengan semua perkataanku, tapi aku membawa amplop yang
berisikan bukti yang menguatkan perkataanku.”
Tangan
yang sedari tadi berada di samping tubuhku tiba-tiba bergetar mengambil amplop
bewarna coklat itu. Terlihat senyuman di bibir Erik, tapi tak kuhiraukan.
Kubaca dengan seksama bukti-bukti yang terpampang jelas dihadapanku. Dengan
tubuh yang sempoyongan, aku menuju meja dimana sebelumnya aku duduk. Pikiran
yang kalut membuatku tak dapat berfikir jernih dan tiba-tiba bibirku yang
hendak menolak perjodohan ini, mengatakan menyetujui perjodohan ini dan
mempercepat pernikahan kami.
Deni
yang sekarang duduk disampingku terlihat terkejut dengan keputusanku. Sejak
pertemuanku dengan kedua orang tuaku Erik, hanya keheningan yang tercipta di
dalam mobil yang kutumpangi dengan Deni. Sesampainya kami di rumah,
keheninganlah yang masih tercipta. Kuawali pembicaraanku dengan Deni, tapi
entah mengapa pertanyaan yang kurangkai ketika di mobil hilang seketika. Aku
hanya bisa menangis dan melemparkan amplop coklat besar yang kuterima dari
Erik. Kulangkahkan kakiku meninggalkan Deni yang tengah berdiri di ruang tamu
tanpa mendengar penjelasan darinya.
Keesokannya
aku berangkat ke kantor untuk mengurus beberapa file. Saat kurebahkan tubuhku
pada salah satu kursi ruang kerjaku, dan ketika kupandang sekeliling ruangan
kerja ini kulihat amplop berwarna putih. Kubaca dengan seksama setiap huruf
dalam surat yang dimasukan pada amplop putih itu. Kuletakkan surat itu kembali
ke meja dan kutundukkan kepalaku untuk menyembunyikan tangisanku yang pecah.
Tak
pernah kupikirkan Deni akan meninggalkanku. Di dalam surat itu dia melepaskan
tugas sebagai pengacaraku dan calon tunanganku yang telah diembannya setahun
belakangan ini. Aku tau, dia pasti juga terpukul dengan kenyataan bahwa orang
tuanyalah yang membunuh orang tuaku. Mungkin ini semua sudah takdir yang dituliskan
dengan Tuhan. Dengan keadaan seperti ini, aku dapat melupakan Deni tanpa
membencinya. Mulai sekarang aku akan menjadi Verisa yang tegar dan menjalani
kehidupan ini dengan lembaran yang baru.
3
tahun kemudian.....
Kulangkahkan
kakiku dan tubuhku yang merasakan kepenatan berlebih ke salah satu kedai kopi
di Osaka, Jepang. Sudah satu minggu aku berada di Osaka untuk memantau
perkembangan cabang peusahaanku yang baru premiere 1 bulan lalu. Dan tepat pada
hari ini yang merupakan hari kematian kedua orang tuaku, kuhabiskan untuk
berjalan-jalan ke tempat kesukaan kedua orang tuaku ketika berkunjung ke sini.
Kupesan
kopi cappucino dan american late dan kucampur kedua minuman itu. Memang untuk
sebagian orang, hal ini terlihat aneh. Tapi untukku, tak ada keanehan dengan
kebiasaan Deni yang telah menjadi kebiasaanku belakangan ini. Selama 3 tahun
ini, tak pernah bisa kuhapus ingatanku tentangnya. Terlebih ketika kudapati
bahwa bukti yang diberikan Erik padaku adalah palsu. Bahkan penyebab kematian
kedua orang tuaku adalah orang tua Erik yang sebenarnya memiliki dendam karena
keberhasilan papaku. Kuputuskan hubunganku dengan Erik dan keluarganya sejak
saat itu dan tak ada seorangpun yang kini mengisi hatiku.
Setelah
mencampur kedua minuman itu kulanjutkan perjalanan ke sebuah taman dan tanpa
sengaja kutabrak seseorang di depanku. Kutundukkan kepalaku dan segera meminta
maaf kepadanya. Saat kami mengangkat kepala kami, tak kusangka orang yang
berada di depanku adalah..............
Deni.