Kamis, 12 September 2013

 LAMA GAK LIAT TIPI, BARU LIAT TV ADA PILEM GU FAMILY BOOK. JADI KEINGET SAMA PILEMNYA.. AKU NANGES TIAP EPISODE WAKTU ITU. AKU UDAH LIAT PILEM INI DARI BEBERAPA MINGGU BAHKAN BULAN YANG LALU. TP GAK KELAR-KELAR SOALNYA NGURUSIN PR YANG NUMPUK. PADAHAL PILEM YANG BARU SUDAH BERTEBARAN DIMANA-MANA. APALAGI NUNGGU PARA ALIEN DARI PLANET EXO YANG JADWALNYA BEJIBUN DAN SAYANG BUAT DILEWATIN.

Aduh.. jadi curhat gak jelas. Sebenernya cuma mau ngepost lagu my eden aja. Mskpun udah banyak yang ngepost tp aku tetep pengen ngepost aja. Soalnya lagu ini favorite banget. waktu denger lagu ini, langsung inget deh kisah cinta eomma dan appanya kang chi. co cweet. ini deh liriknya, yang bikin aku megap-megap


There’s a stone for the things forgotten.
Just a stone for all you wanted.
Look, a stone for what will not be:
All you thought was there.
Count the stones don’t think about him.
Let the stones become your mountain.


Let them go the nights you doubted:
All those thousand cares
Softly now thread
Through the towns and the dark.
Softly be led
By the clouds and the stars.
When the distances grow,
When the winds start to blow,
Something whispers from afar:
There’s a home in the heart
Another heaven
There’s a time for everything,
There’s a song for every dream
(There’s a song)
There’s a stone for every action,
For the things you won’t look back on.
Look, a stone for all that will be:
All that still is me.
Softly now thread
Through the sounds of the dark.
Softly be led
By the clouds and the stars.
When the distances grow,
When the winds start to blow,
Something whispers from afar:
There’s a home in the heart
Another heaven
There’s a time for everything,
There’s a song for every dream.
There’s a world that’s yet to be

CERITA PANJANG dan PENDEK ?

YUHU... AKU MAU BAGI-BAGI CERITA YANG MUNGKIN AGAK GEJE DAN YAH.. BOLEH DIBILANG PEMULA BANGET. INI GARA-GARA SUNTUK BELAJAR, JADINYA ISENG-ISENG NULIS DEH. YANG UDAH BACA DAN SUKA CERITANYA JANGAN LUPA COMENT YA... BERI MASUKAN + KRITIK TAPI HARUS ADA SARAN. TAPI YANG SOPAN YA... AUTHOR SOALNYA PERASA BANGET.. ^^
MAAP KALO ADA TYPONYA.. UDAH AH, BANYAK OMONG NIH AUTHOR. OKKE DEH. SELAMAT MEMBACA.. :*

I not Believe You, but I Believe You


Sayup-sayup terdengar kicauan burung di telingaku. Aku hanya bisa tersenyum dan mengagumi setiap keindahan nada yang tercipta dari paruh kecil itu. Kuhirup dalam-dalam setiap molekul aroma wewangian yang dihasilkan bunga di sekelilingku. Tanpa kusadari aku terlelap, terlelap dalam suasana nan tenang dan sejuk ini. Terik matahari yang hangat membuat dinginnya udara pada musim hujan selama satu dekade ini terbayar sudah.
Dalam lelapku terlihat seorang gadis yang tengah berdiri mengenakan gaun berwarna merah maroon gelap nan indah di dalam kamar, tepatnya di sebuah cermin besar bergaya eropa kuno. Gaun itu menjuntai ke bawah menutupi sepatu permata yang dikenakannya. Kalung bermata rubi merah itu tak luput menghiasi leher indah nan putih itu. Rambut hitam terurai indah menambah pancaran kecantikan gadis yang tak dapat kulihat wajahnya itu.
Cermin yang ada di hadapannya nampak buram dan kotor, hingga wajah gadis itu tak tampak jelas memantul di cermin. Hingga seseorang wanita paruh baya datang dan memanggil gadis cantik itu.”Verisa”, hanya itu yang keluar dari bibir wanita  paruh baya tersebut. Dengan seksama kuperhatikan setiap langkah kedua wanita itu.
Tak ada yang kumengerti situasi apa ini. Siapa gadis itu, kenapa aku kini begitu penasaran dengan gadis yang bahkan tak pernah kulihat wajahnya. Tapi satu hal yang pasti yang dapat kumengerti. Ketika dia membalikkan badannya mencari sumber suara yang memanggil namanya ada sebuah tongkat di tangannya. Tongkat itu diayunkannya ke samping kanan dan kiri, untuk memastikan jalan yang ditujunya aman. Dan kini wajahnya telah nampak di penglihatanku. Gadis itu adalah aku.
Dengan sekejap, aku terbangun dari mimpi itu. Mimpi yang selama ini menghantuiku. Mimpi yang membuatku menyalahkan semua takdir yang menimpaku dan yang selalu mengingatkanku betapa tidak adilnya hidupku. Semua harapanku masuk ke dalam kegelapan yang membuat kedua mataku tak dapat melihat indahnya cahaya mentari.
Aku adalah gadis berumur 17 tahun yang kini hanya bisa terkurung di rumah yang suram ini. Tak ada lagi canda tawa yang terdengar di telingaku. Tak ada lagi suara teman-temannku yang mengisi hari kosongku. Kini aku sendiri, hanya tongkat yang kupegang selama ini yang setia menemaniku. Tak ada lagi, tak ada lagi orang yang dulu memujaku kini berada setia disampingku.
Semenjak kecelakaan yang terjadi 1 tahun yang lalu, semua kebahagiaan yang dulu pernah kualami kini sirna begitu saja. Teman-teman yang dulunya begitu perhatian denganku, satu persatu pergi meninggalkanku. Mereka yang selalu mengelu-elukan betapa cantiknya aku, betapa pintarnya aku, dan betapa beruntungnya aku hidup sebagai anak pengusaha kini tak pernah lagi terdengar di telingaku.
Tak hanya telah merenggut kedua mataku, tapi kecelakaan itu juga telah merenggut nyawa kedua orang tuaku. Orang tua yang selama ini menjadi sandaranku, orang tua yang selalu menjadi tempatku mengadu semua keluh kesahku. Semenjak kedua orang tuaku meninggal, perusahaan yang dibangun dengan darah dan keringat keluargaku kini harus menjadi perusahaan tua yang hampir bangkrut. Hutang yang dulu menurutku adalah sebuah dongeng belaka, yang tak mungkin ada dalam hidupku kini menyelimuti hari-hariku. Hanya rumah ini dan bibi Rusimah lah yang selalu ada di sampingku.
Bibi Rusimah, wanita paruh baya yang mengabdikan diri kepada keluargaku semenjak ayahku masih berumur 2 tahun itu sangat setia kepada keluargaku. Dia bagaikan keluarga bagiku dan orang yang paling kusayangi setelah kedua orang tuaku, terlebih setelah kepergian kedua orang tuaku. Dia yang menjagaku sejak aku kecil, ketika kedua orang tuaku sedang sibuk. Dia juga yang kini menjadi mata keduaku sejak kecelakaan itu. Dia pula yang setiap hari memberiku motivasi untuk menjadi Verisa yang dulu. Verisa yang ceria, pantang menyerah, dan selalu bersemangat.
Dulu, aku adalah salah satu murid terpintar di sekolahku. Tak hanya menjadi murid yang terpintar, aku juga dapat dibilang menjadi primadona di sekolah terakreditasi A tersebut. Hampir semua penghargaan kejuaraan akademik dan non akademik aku sandang. Kemampuanku dalam bermain biolaku pun membuatku pernah menghadiri sebuah tetater musikal yang diadakan di Australia, bahkan aku hampir sering mengisi beberapa acara resmi di galeri-galeri terkenal. Ditambah aku aktif dalam organisasi OSIS di sekolahku. Teman-temanku begitu mengagumiku dan menyayangiku. Itulah yang dulu berada di otakku
Begitu indahnya hidupku, sampai-sampai aku tak percaya pernah memiliki kehidupan yang begitu sempurna bak negeri dongeng yang diimpikan oleh semua orang. Tapi negeri dongengku tak bertahan lama. Saat aku dan kedua orang tuaku hendak berlibur ke salah satu villa kami, kecelakaan itu terjadi. Kecelakan yang terjadi pukul 3 dini hari itu terjadi saat aku dan keluargaku menaiki mobil merah kesayangan papaku. Kecelakaan itu terjadi tepatnya tikungan curam di puncak  Tak menyangka perasaan tidak enak yang telah menghantuiku selama 2 hari sebelum kecelakan, merupakan pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Mobil yang kami kendarai terguling ke dalam jurang tepat berada di tikungan yang sebelumnya kami lewati. Beruntung aku masih dapat diselamatkan. Aku terpental dari mobil dan tersangkut pada pohon yang tumbuh di samping jurang, begitu beruntungnya aku. Tetapi nasib yang baik tidak berpihak pada kedua orang tuaku. Mereka jatuh bersama mobil yang mereka kendarai karena mereka tertahan safety belt yang mereka kenakan.
Beberapa hari kemudian setelah tubuhku sedikit membaik, bibi memberitahuku bahwa kecelakaan yang kami alami diakibatkan rem mobil yang kami kendarai blong. Mobil kami pun menyenggol pembatas jalan yang menyebabkan mobil kami hilang keseimbangan karena badan jalan yang sempit. Setelah dilakukan penyelidikan rem kami ternyata tidak blong karena terputusnya saluran rem, tetapi piston rem mobil yang sudah aus. Hal ini sangat tidak mungkin mengingat umur mobil ini baru 3 bulan.
Sudah satu tahun lamanya kejadian itu berlalu, kejadian yang diyakini semua orang murni kecelakaan tanpa adanya unsur pembunuhan di dalamnya. Berdasarkan keterangan yang kudengar dari salah satu polisi polisi yang berbincang dengan bibi Rusimah saat aku telah pulang ke rumah, polisi merasakan adanya kejanggalan dalam peristiwa tersebut. Tetapi setelah satu bulan dilakukan penyelidikan lebih lanjut, mereka tiba-tiba menyatakan bahwa peristiwa itu murni kecelakaan dengan penyebab rem yang terputus. Aku merasa ada ketidak adilan dalam proses penyelidikan polisi tersebut. Tapi aku hanya dapat berdiam diri menerima keputusan polisi, terlebih dengan keadaanku yang masih lemah pasca operasi ditambah keuangan perusahaan yang semakin menurun menyebabkan tak dapat kusewa pengacara untuk menyelidiki kasus ini.
Setelah seharian melepaskan kepenatanku dengan berjalan-jalan ke taman, aku kembali ke rumah untuk mempersiapkan seminar yang akan kulakukan malam ini. Aku akan menghadiri seminar yang diadakan United Nations Decade of Disabled Persons sebagai salah satu nara sumber utama. Sudah tiga bulan ini aku menjadi pembicara dalam berbagai seminar untuk para penyandang disabilitas. Sebagai salah satu penyandang disabilitas aku akan memberikan motifasi kepada mereka untuk terus menjalani hidup dan pantang menyerah meskipun itu sangat sulit dilakukan. Aku juga telah menerbitkan berbagai buku yang berisikan motivasi-motivasi hidup dalam berbagai bahasa yang penjualannya kini dapat mebayar sebagian hutang papaku dan sebagian lagi dapat kusumbangkan.
Dalam keterbatasanku saat ini, aku bertekad untuk menyelamatkan perusahaan kedua orang tuaku yang sekarang sudah dapat memulai produksinya kembali. Dengan tekatku itu, aku mampu menjadi satu-satunya penyandang dissabilitas yang dipercaya menangani sebuah perusahaan yang mulai berkembang dalam skala Internasional. Bahkan aku mampu meyakinkan para pemegang saham untuk mempercayakan perusahaan secara langsung kepadaku. Dengan bantuan dari salah satu orang kepercayaan ayahku, aku dapat menjalankan perusahaan dengan mudah. Dia adalah Deni.
Deni adalah anak dari pengacara keluargaku yang dapat dikatakan mendedikasikan separuh hidupnya untuk keluargaku. Meskipun usiaku dan Deni terpaut 1 tahun, aku merasa bahwa dia adalah kakakku yang selalu menjagaku seperti adiknya sendiri. Kami tumbuh bersama dalam lingkungan yang sama, lingkungan yang mengharuskan kami meneruskan apapun yang diwariskan kedua orang tua kami. Pak Hermawan selaku ayah Deni, menyerahkan tanggung jawab kepadanya untuk menjagaku sekaligus membantuku menjalankan perusahaan semenjak 1 tahun lalu.
Dengan bantuannya kini perusahaan kami mampu memproduksi produk kecantikan dan fashion yang laku dipasaran. Selain itu kami mengembangkan produk kami agar dapat digunakan untuk para penyandang disabilitas. Itu terjadi karena keprihatinanku kepada para penyandang disabilitas yang mungkin merasa kurang percaya diri dengan keterbatasannya, seperti aku. Tapi aku berharap dengan adanya produk ini, mereka dapat lebih percaya diri. Seperti kaki palsu yang sedang kami kembangkan. Kaki palsu ini menggunakan silikon yang hampir menyerupai kulit dilengkapi dengan engsel yang komplek sebagai sendi. Kaki palsu ini akan terus kami kembangkan hingga dapat mendekati aslinya.
Jam Gadang yang berbunyi setiap 3 jam sekali  yang tengah berdiri di ruang tengah kini berbunyi dengan nyaringnya. Tembok yang menjulang tinggi dengan lukisan bergaya eropa kuno memantulkan setiap dentingan jam tersebut. Menandakan bahwa satu setengah jam lagi, aku harus menghadiri acara seminar tersebut. Aku bergegas untuk segera mandi dan dengan bantuan dari bibi Rusimah kupilih gaun yang cocok untuk menghadiri acara tersebut.
Satu jam berlalu, kini aku telah siap menghadiri seminar itu. Kaki yang berbalut sepatu high hels setinggi 10 centi ini kulangkahkan menuju mobil yang telah lama menungguku untuk segera pergi ke acara tersebut. Aku yang telah mengenal rumah ini dengan baik, tidak memerlukan waktu lama untuk menuju mobil yang terparkir tepat di teras depan rumahku. Sekarang, aku telah masuk ke dalam mobil dan tengah berbincang mengenai materi seminarku kepada Deni. Meskipun aku sedikit takut untuk naik mobil sejak kecelakaan itu, tetapi dengan adanya Deni disampingku perasaan takutku kini sedikit berkurang. Meskipun jantungku sedikit berdebar dan kepalaku juga sedikit pusing saat memasuki mobil, tapi aku tidak akan pingsan selama Deni berada di sampingku.
“Aku bantu pakaikan sabuk pengaman. Jangan gugup.... aku ada di sampingmu” Deni membantuku memasangkan safety belt yang kini telah menyilang dengan baik di tubuhku.
“Terima kasih.....” hanya senyuman dan kata-kata ini yang dapat kuucapkan kepada orang yang senantiasa menjagaku.
Sebelum kecelakaan itu terjadi, papa berencana menjodohkanku dengan rekan bisnisnya. Pada saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMA. Aku merasa bahwa diumurku yang sangat muda itu, sangat tidak mungkin untuk menyetujui perjodohan itu. Tetapi akibat desakan papa yang entah sampai saat ini tak kuketahui alasannya pada akhirnya aku menyetujui perjodohan itu. Aku berusaha keras menghindari calon tunanganku itu. Kerap  Deni membawaku pergi ketika aku tanpa sengaja bertemu dengan Erik, orang yang akan dijodohkan padaku. Deni mengetahui ketidak nyamananku menerima perjodohan ini. Dia sering membawaku kabur setiap Erik hendak mendekatiku. Meskipun Pak Hermawan sering melarang anaknya mengganggu hubunganku dengan Erik, Deni tak pernah menggubris perkataan ayahnya.
Setelah seminar yang berlangsung kurang lebih 2 jam itu berakhir, aku berpamitan kepada Deni untuk pergi ke kamar mandi sebelum kami pulang meninggalkan gedung seminar ini. Tak selang beberapa lama saat aku telah selesai dari toilet, seorang penjaga hotel memanggilku
“Maaf nona, saya tadi diperintahkan oleh seseorang pemuda untuk memberitahukan kepada nona bahwa dia tidak dapat pulang bersama nona dan telah memesankan taksi untuk anda.”
“Apakah ada surat atau semacamnya yang dititipkannya padaku?”
“Saya rasa tidak. O... iya, mari saya bantu. Taksi anda sudah datang.” Penjaga hotel itu sekarang menuntunku menuju taksi yang kini telah pergi meninggalkan gedung seminar tersebut.
Tak ada telepon yang masuk dalam hpku. Meskipun Deni tau aku cukup kesulitan menggunakan handphone ini, tapi dia juga tau benar bahwa hanya untuk mengangkat telepon saja aku mampu melakukannya. Untuk itu, tak pernah sekalipun dia tidak mengabariku apabila ada sesuatu yang terjadi. Tapi tidak untuk kali ini, dia meninggalkanku sendiri di tempat yang belum kukenal betul. Dia bahkan tidak mengabariku sebenarnya apa yang terjadi, hingga ia meninggalkanku begitu saja.
Semalaman aku menunggu kabar darinya, tapi tak sedikitpun terdengar dentingan lagu pada handphoneku. Mata yang semakin berat dan telah berada pada penghujung kemampuannya untuk membuka, kini menutup perlahan dan membawaku kedalam alam mimpi yang indah. Kicauan burunglah yang membuatku terjaga dari alam mimpiku. Jam yang bersensor sentuhan itu, menyuarakan pukul 8 yang tertera pada layarnya. Jam itu merupakan hadiah pemberian Deni sepulangya dari Jepang. Deni berharap dengan jam itu, aku akan dapat tetap merasakan perjalanan waktu yang indah di dunia. Meskipun aku tak dapat melihat, tetapi jam yang selalu bersuara angka-angka itulah yang membuatku bahwa setiap detik kehidupan, sangatlah berharga.
 Roti yang tersedia di atas meja makan ini telah separuhnya kuhabiskan, tetapi handphoneku tak kunjung memberikan tanda bahwa ada panggilan yang masuk kedalamnya. Suara mobil yang tak asing lagi bagiku sekarang tengah berhenti di halaman rumahku. Langkah kaki yang berat itu mendekat padaku yang sedang sibuk menghabiskan separuh roti ini. Suara langkag kaki itu pun berhenti, dan sang pemilik suara sekarang duduk di meja makan bersamaku. Orang yang sekarang berada di sampingku, akhirnya menyuarakan suaranya.
“Ver... maaf kemarin aku ninggalin kamu gitu aja. Tapi ada hal penting yang harus aku urus. Kemarin.....”
Suara yang berbeda dari biasanya itu tiba-tiba menghentikan kata-katanya. Suara yang terdengar begitu serak dan seperti menahan sebuah tangisan yang teramat menyakitkan itu hanya kujawab dengan dengungan yang menandakan untuk menyuruhnya kembali berbicara.
“Kemarin.... ayah dan adikku mengalami kecelakaan.”
Garpu dan pisau yang sedari tadi kugunakan untuk mengiris rotiku tiba-tiba terjatuh ke lantai. Aku begitu syok mendengar apa yang barusan kudengar. Terdengar sesenggukan dari mulut laki-laki yang sekarang telah kusenderkan kepalanya ke pundakku untuk menenangkannya.
“Sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya, dia berpesan padaku untuk menjadwalkan hari operasi mata tepat pada hari pemakamannya. Dia telah mendapatkan donor untukmu.” Tambahnya di dalam isak tangisnya.
Tak ada satu kata yang terucap, bibir ini terasa kaku. Hanya tetesan air mata yang sekarang berhasil lolos dari tempatnya. Perasaanku kini bercampur aduk antara rasa bahagia dan sedih. Aku bahagia karena, hal yang selama ini kuimpikan dan kunanti akhirnya terwujud. Tetapi di balik kebahagiannku, aku juga teramat terpukul karena untuk kedua kalinya aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi.
“Terima kasih....... terimah kasih om Hermawan. Dan terima kasih juga untukmu.... Deni....” Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutku saat ini. Berita yang begitu mengejutkanku membuat pikiranku sekarang menjadi kalut.
Sesaat setelah obrolan kami, hanya keheningan yang tercipta. Di dalam hatiku, aku berjanji akan membayar semua hutang budiku pada keluarga om Hermawan. Aku juga berjanji kepada mendiang orang tuaku, pengorbanan yang telah dilakukan om Hermawan hingga aku dapat dioperasi secepat ini tidak akan aku sia-siakan. Aku akan mencari penyebab kedua orang tuaku mengalami kecelakaan dan juga akan kukembalikan nama perusahaanku sekarang hingga kembali ke masa jayanya.
Hari yang begitu suram kemarin, sekarang telah tergantikan dengan hari yang sudah lama kunanti. Hari ini adalah hari dimana operasi mataku telah dijadwalkan. Karena itu pagi ini tidak ada sedikit pun nasi yang masuk ke dalam perutku. Hal ini telah berlangsung sejak kemarin saat dr. Arditya menjadwalkan operasi mata untukku dan menyuruhku untuk berpuasa. Operasi mataku ini akan berlangsung kurang lebih 2 jam dan itu benar-benar membuatku takut. Aku berharap Deni datang saat aku akan masuk ke dalam ruang operasi. Tetapi karena dia harus mewakiliku dalam rapat penting perusahaan, aku tak dapat melihatnya.
“Bi, apakah bibi telah menyiapkan semuanya?” ucapku, sebelum aku masuk ke dalam ruang operasi.
“Sudah non, saya sudah menghubungi pengacara keluarga dan menyampaikan pesan dari non Verisa. Tapi seharunya non tidak melakukan ini semua. Bibi yakin, tidak akan ada hal buruk yang terjadi, dan non akan tetap berada di sisi kami.”
“Iya bi... aku sepenuhnya yakin kalau dr. Aditya mampu melakukan tugasnya dengan baik. Tetapi aku tak akan mengambil resiko apabila sesuatu terjadi padaku.”
Bibi yang kurang setuju akan keputusanku ini, hanya dapat pasrah dan mengantarku ke depan pintu ruang operasi. Deni yang sedari tadi kutunggu kehadirannya pada akhirnya datang untuk mengantarku. Tetapi sebelum aku dapat berbicara dengannya, suster sudah mendorongku untuk masuk ruang operasi.
Sudah seminggu aku beristirahat di ruang 101 cempaka putih pasca operasi yang kulakukan kemarin. Dan hari ini, perban yang masih melingkar di mataku akan dibuka. Aku ingin, orang pertama yang dapat kulihat sekarang adalah Deni. Tak butuh waktu lama, dokter dan suster yang tadi memeriksa rekapan medisku sekarang mencoba membuka perbanku. Kemudian, dokter menyuruhku untuk membuka perlahan kedua mataku. Memang terasa sedikit aneh, cahaya yang tiba-tiba sangat silau sedikit demi sedikit membentuk bayangan seseorang. Meskipun itu tampak buram tapi aku tau, bahwa orang yang sekarang tengah berdiri di hadapanku adalah Deni. Terlihat sunggingan senyum di bibirnya, aku pun membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih.
Selama beberapa bulan ini, aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Deni di setiap keadaanku. Tak ada kata cinta yang kami ungkapkan satu sama lain. Tapi kami paham dengan perasaan kami sekarang ini. Entah siapa yang memulai, tapi kami sekarang telah menjadi sepasang kekasih. Hari-hariku bertambah indah sejak kehadirannya. Bahkan tak sampai disitu hari-hari indahku. Perusahaan papaku yang kupegang sekarang menjadi salah satu perusahaan yang diperhitungkan di pasar luar negeri.
Tetapi kebahagiaanku tiba-tiba menguap begitu saja bagaikan uap air pada teko kecil yang memanas. Perjodohanku dengan Erik yang telah ditetapkan papa kini menghantui hari-hariku dengan Deni. Aku tidak ingin bahkan tidak sekalipun terbersit di pikiranku untuk menikah dengan orang yang tak pernah kucintai.
Setelah berpikir begitu keras, dengan berbagai pertimbangan pada akhirnya aku bertekad memberitaku kedua orang tua Erik untuk membatalkan perjodohan itu. Aku menyiapkan tempat khusus untuk pertemuan kami dengan menyewa salah satu restoran terbaik di Bogor. Sekarang tubuhku sangat dingin dan aku begitu gugup menunggu kedua orang tua Erik, meskipun siampingku tengah duduk Deni selaku calon tunanganku dan pengacaraku.
Tiga orang yang sedari tadi kutunggu kehadirannya, berjalan ke meja yang telah kupesan. Tubuhku yang kedinginan karena udara di restoran ini semakin mendingin saat kedatangan kedua orang tua Erik. Kupersilahkan mereka duduk dan kumulai pembicaraan kami dengan mempersilahkan mereka untuk memesan. Obrolan-obrolan kecil menyelimuti meja yang sekarang kupesan. Saat aku akan mengatakan inti dari pertemuan kami ini, tiba-tiba Erik mengajakku ke luar restoran untuk membicarakan sesuatu. Aku cukup penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Erik, tetapi kuturuti perintahnya untuk keluar restoran.
“Ver, aku tau kamu gak pernah cinta sama aku, dan aku juga tau kalau hari ini kamu akan membatalkan perjodohan kita. Tapi, sebelum kamu membatalkan perjodohan kita kamu harus tau sesuatu.” Ucap Erik saat kami berada di luar restoran.
Aku begitu tersentak dengan ucapan Erik barusan. Kenapa dia tau rencanaku perihal pembatalan perjodohan ini dan ada hal penting apa yang akan diberitahunya. Pertanyaan-pertanyaan itu sekarang berputar acak di otakku.
Karena aku tak kunjung merespon, pada akhirnya dia melanjutkan kata-katanya yang terputus. “Ver, aku benar-benar mencintaimu meskipun aku tau kamu tengah berpacaran dengan Deni. Dan aku pun tau kalau kalian akan segera bertunangan. Tapi aku tidak ingin orang yang kucintai bersama dengan anak dari orang yang telah membunuh keluarganya.”
“A..ap..apa maksutmu?” jantungku tiba-tiba berhenti berdetak, bibirku juga kelu untuk mengeluarkan suara. Hanya 2 kata yang dapat kuucapkan untuk menelisik lebih jauh penyataan Erik
“Iya, setahun yang lalu aku menyewa pengacara untuk menyelidiki penyebab kecelakaan kedua orang tuamu. Dan aku mendapatkan suatu kenyataan yang menurutku sangatlah tidak mungkin. Pak Hermawan lah penyebab rem mobil orang tuamu terputus, sehingga mereka mengalami kecelakaan itu. Saat aku mengetahuinya, aku hanya bisa menyimpan rahasia ini karena aku tau kamu pasti akan terpukul dengan kenyataan ini. terlebih lagi, kamu sangat dekat dengan Deni. Aku tau, kamu pasti tidak percaya dengan semua perkataanku, tapi aku membawa amplop yang berisikan bukti yang menguatkan perkataanku.”
Tangan yang sedari tadi berada di samping tubuhku tiba-tiba bergetar mengambil amplop bewarna coklat itu. Terlihat senyuman di bibir Erik, tapi tak kuhiraukan. Kubaca dengan seksama bukti-bukti yang terpampang jelas dihadapanku. Dengan tubuh yang sempoyongan, aku menuju meja dimana sebelumnya aku duduk. Pikiran yang kalut membuatku tak dapat berfikir jernih dan tiba-tiba bibirku yang hendak menolak perjodohan ini, mengatakan menyetujui perjodohan ini dan mempercepat pernikahan kami.
Deni yang sekarang duduk disampingku terlihat terkejut dengan keputusanku. Sejak pertemuanku dengan kedua orang tuaku Erik, hanya keheningan yang tercipta di dalam mobil yang kutumpangi dengan Deni. Sesampainya kami di rumah, keheninganlah yang masih tercipta. Kuawali pembicaraanku dengan Deni, tapi entah mengapa pertanyaan yang kurangkai ketika di mobil hilang seketika. Aku hanya bisa menangis dan melemparkan amplop coklat besar yang kuterima dari Erik. Kulangkahkan kakiku meninggalkan Deni yang tengah berdiri di ruang tamu tanpa mendengar penjelasan darinya.
Keesokannya aku berangkat ke kantor untuk mengurus beberapa file. Saat kurebahkan tubuhku pada salah satu kursi ruang kerjaku, dan ketika kupandang sekeliling ruangan kerja ini kulihat amplop berwarna putih. Kubaca dengan seksama setiap huruf dalam surat yang dimasukan pada amplop putih itu. Kuletakkan surat itu kembali ke meja dan kutundukkan kepalaku untuk menyembunyikan tangisanku yang pecah.
Tak pernah kupikirkan Deni akan meninggalkanku. Di dalam surat itu dia melepaskan tugas sebagai pengacaraku dan calon tunanganku yang telah diembannya setahun belakangan ini. Aku tau, dia pasti juga terpukul dengan kenyataan bahwa orang tuanyalah yang membunuh orang tuaku. Mungkin ini semua sudah takdir yang dituliskan dengan Tuhan. Dengan keadaan seperti ini, aku dapat melupakan Deni tanpa membencinya. Mulai sekarang aku akan menjadi Verisa yang tegar dan menjalani kehidupan ini dengan lembaran yang baru.
3 tahun kemudian.....
Kulangkahkan kakiku dan tubuhku yang merasakan kepenatan berlebih ke salah satu kedai kopi di Osaka, Jepang. Sudah satu minggu aku berada di Osaka untuk memantau perkembangan cabang peusahaanku yang baru premiere 1 bulan lalu. Dan tepat pada hari ini yang merupakan hari kematian kedua orang tuaku, kuhabiskan untuk berjalan-jalan ke tempat kesukaan kedua orang tuaku ketika berkunjung ke sini.
Kupesan kopi cappucino dan american late dan kucampur kedua minuman itu. Memang untuk sebagian orang, hal ini terlihat aneh. Tapi untukku, tak ada keanehan dengan kebiasaan Deni yang telah menjadi kebiasaanku belakangan ini. Selama 3 tahun ini, tak pernah bisa kuhapus ingatanku tentangnya. Terlebih ketika kudapati bahwa bukti yang diberikan Erik padaku adalah palsu. Bahkan penyebab kematian kedua orang tuaku adalah orang tua Erik yang sebenarnya memiliki dendam karena keberhasilan papaku. Kuputuskan hubunganku dengan Erik dan keluarganya sejak saat itu dan tak ada seorangpun yang kini mengisi hatiku.
Setelah mencampur kedua minuman itu kulanjutkan perjalanan ke sebuah taman dan tanpa sengaja kutabrak seseorang di depanku. Kutundukkan kepalaku dan segera meminta maaf kepadanya. Saat kami mengangkat kepala kami, tak kusangka orang yang berada di depanku adalah..............

Deni.